Ikon Bawang Putih

| Selasa, 04 Juni 2013


IBN AMAZING RINJANI TRIP 2012
Sebenarnya, untuk mendaki Gunung Rinjani, Lombok ada empat pilihan rute. Tetapi lazimnya ada dua rute utama, yakni yang dimulai dari desa Sembalun Lawang dan Senaru. Keduanya punya karakter berbeda. Pengunjung Taman Nasional Gunung Rinjani bisa memilih variasi di antara keduanya; apakah mulai mendaki dari Sembalun Lawang lalu kembali ke desa itu lagi, atau turun di Senaru. Bisa juga memulai pendakian dari Senaru kembali lewat Senaru, atau turun di Sembalun Lawang.

Desa Sembalun Lawang sendiri terletak di Kabupaten Lombok Timur, sementara Senaru masuk ke dalam wilayah Kabupaten Lombok Utara. Senaru adalah desa berupa punggungan bukit di kaki gunung Rinjani. Pada waktu saya berkunjung kesini, desa ini lebih ramai dikunjungi, terutama wisatawan asing, ketimbang Sembalun Lawang. Hal itu mungkin dikarenakan dua hal; pertama ada objek wisata berupa air terjun Sindang Gila dengan 400-an anak tangganya, atau karena memang fasulitas akomodasi di Senaru lebih baik ketimbang di Sembalun Lawang.

Sembalun Lawang di pagi hari
Padahal, kalau menilik potensi wisata Sembalun Lawang, sebenarnya lebih besar ketimbang Senaru. Wajar kalau saya menanyakan hal ini kerpada Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah NTB, Awanadhi Aswinabawa. “Masalahnya kan ini berada pada dua kabupaten yang berbeda, sehinga juga berpijak pada implementasi kebijakan dua kabupaten yang berbeda. Yang bisa kami lakukan adalah pencitraan atas kedua desa tersebut dan dialog sehari-hari dengan pemkab untuk menggarisbawahi bahwa desa mereka itu punya potensi yang luar biasa. Di Sembalun ada rumah adat, kerajinan tenun hingga lansekap ladang yang luar biasa,” tukar Awan, panggilan akrab Awanadhi ketika ditemui di Mataram.

Rumah adat Lombok di Sembalun Lawang
Dan itu benar adanya. Dalam perjalanan kita menuju desa Sembalun, kita bisa berhenti sebentar di sebuah titik ketinggian 1.500 m dpl (meter dari permukaan laut). Tempat itu dinamakan Pusuk. Dari titik ini, di mana angin bertiup cukup kencang dan dingin, kita bisa melihat lembah di bawah dalam kemilau matahari sore, dipagari barisan bukit di sekelilingnya. Ada dua desa di bawah itu sebenarnya, Sembalun Bumbung dan Sembalun Lawang.

Sembalun Lawang sendiri, yang dijadikan basis pendakian para pendaki ke Gunung Rinjani, berada di ketinggian 1.156 m dpl. Meski begitu, saya sudah bisa merasakan dinginnya desa ini, bahkan ketika saya tertidur petang itu.

Dan pesona Sembalun di mata saya itu yang membuat saya kembali ke sini, meski saya mengakhiri pendakian Gunung Rinjani di Senaru. Dengan menaiki ojek sepeda motor, saya menempuh sejam perjalanan dari Senaru ke Sembalun. Dalam perjalanan saya melewati kebun rakyat yang berisi tanaman keras –termasuk kawasan hutan masyarakat, yakni hutan milik negara yang diberdayakan untuk rakyat untuk ditanami tanaman yang menghasilkan. Di antaranya termasuk jambu mente (Annacardium occidentale) di daerah Biluk Petung yang kami lalui. Kini, jambu mente dijual oleh petani dengan harga Rp 10.500,- per kg kering.



Tentu, dalam perjalanan saya temui beberapa kali gerombolan sapi. Kebanyakan berwarna cokelat. Masyarakat Sembalun yang mayoritas beragama Islam menganggap sapi sebagai hewan yang istimewa, karena hewan ini adalah tabungan hidup bagi keluarga. Status sosial terkadang dilambangkan dengan banyaknya sapi yang dimiliki, dan merupakan lambang banyaknya rejeki. Sapi berwarna cokelat menghasilkan daging yang lebih banyak ketimbang sapi berwarna hitam. Namun, sapi hitam dengan struktur tulang yang lebih besar lazimnya lebih kuat sehingga lebih banyak digunakan untuk kerja ladang.

Tapi desa-desa Sembalun, baik Sembalun Bumbung dan Sembalun Lawang sebenarnya memang terkenal menghasilkan bawang, baik bawang putih maupun bawang merah. Di kawasan ladang yang dikelilingi bebukitan berwarna kuning menjelang petang, bawang dan sayur-mayur lainnya ditanam oleh petani di sini. Kini harga bawang putih lokal dijual petani seharga Rp 250.000,- per kwintal basah atau Rp 500.000,- per kwintal kering. Konon, pada masa kejayaannya, pihak Kanwil Departemen Agama Nusa Tenggara Barat kerap menolak calon jemaah Haji asal Sembalun, karena selalu melebih kuota.

Bawang putih sedang dijemur
Di dekat jalan masuk ke penginapan saya di Sembalun, yakni Lembah Rinjani yang bertarif Rp 250.000,-, terdapat sebuah replika besar bawang putih. Di pinggir jalan antara Senaru – Sembalun yang saya lalui, mudah saja menandai kita sudah memasuki kawasan Sembalun; yakni banyaknya petani yang menjemur hasil panen bawang putih mereka di depan atau samping rumah. Bahkan di pinggir jalan. 
Teks & foto: Gegen
Baca berikutnya: 
Insomnia Beberapa Abad


Ladang bawang dan sayuran lainnya di Sembalun


0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲